Orde Baru memang dikenal kerap memfilter berbagai macam informasi maupun sesuatu yang dapat memengaruhi publik. Tidak hanya berita yang menjadi objek perhatian Orde Baru, termasuk juga lagu cengeng. Menteri Penerangan Orde Baru, Harmoko, melarang berbagai lagu cengeng yang diputar melalui Televisi Republik Indonesia (TVRI) kala itu.
Pada tanggal 24 Agustus 1988, dalam acara perayaan hari jadi TVRI yang ke-26, Harmoko yang merupakan Menteri Penerangan dengan tegas mengatakan: “Stop lagu-lagu (cengeng) semacam itu.” Lagu-lagu cengeng dianggap menghambat laju pembangunan nasional karena dapat menurunkan semangat kerja masyarakat.
Bagi Harmoko, yang merupakan orang dekat Presiden Soeharto, semangat rakyat dalam menjalani pembangunan nasional akan terganggu, jika TVRI sebagai televisi satu-satunya kala itu dipenuhi dengan lagu “ratapan patah semangat berselera rendah, keretakan rumah tangga, atau hal-hal cengeng.”
Baca juga: Sejarah Pemutar Musik dari Masa ke Masa: Piringan Hitam hingga Streaming
Meski tidak menyebut judul secara rinci, namun salah satu lagu yang dianggap cengeng pada masa itu adalah ‘Hati yang Luka’. Lagu ini dipopulerkan oleh sosok cantik Betharia Sonata. Sebagian besar orang yang hidup pada masa Orde Baru mengenal wanita bersuara renyah ini.
‘Hati yang Luka’ dirilis pada tanggal 11 Januari 1988, empat hari pasca perilisan video klipnya muncul di TVRI. Lagu rilisan Musica Studio ini diciptakan oleh musisi spesialis lagu sendu, Obbie Mesakh. Lagu ini menceritakan tentang kekerasan dalam rumah tangga dan sangat dikenal oleh masyarakat kala itu dengan lirik “Pulangkan saja aku pada ibuku atau ayahku…”
Berbicara pelarangan lagu, larangan tidak hanya terjadi pada masa Orde Baru, pada masa Orde Lama di bawah kepemimpinan Soekarno pun pernah terjadi. Soekarno sangat anti dengan musik ‘ngak-ngik-ngok’ dari Amerika.
Baca juga: Soekarno dan Ketidaksukaannya terhadap Musik ‘Ngak-ngik-ngok’
‘Ngak-ngik-ngok’ yang dimaksud adalah musik jenis rock ‘n roll ala barat layaknya Elvis Presley dan The Beatles yang tenar kala itu. Musik jenis itu dianggap mewakili semangat Nekolim atau Neo Kolonialisme Imprealisme. Hal tersebut memicu kekhawatiran Soekarno akan menggerus budaya bangsa termasuk lagu daerah.
Komentari post